Jumat, 09 Desember 2016

12 Pekan Meraih Sakinah

Pertemuan kita bagaikan sang fajar yang terbit, begitu menyilaukan namun tetap apik terdiam untuk merasakan kehangatannya...
Pertemuan kita bagaikan sang Jingga yang terbit, begitu indah namun tetap apik terdiam untuk merasakan cakrawalanya...
Pertemuan menawarkan sejuta keindahan untuk dinikmati dan disyukuri, kesimpulannya adalah kita sendiri yang menentukan. Akankah keindahan tersebut hanya menawarkan keindahan sesaat atau menawarkan keindahan yang abadi. Biarlah waktu yang menjawab semuanya dengan menggapai setiap petunjuk yang diberikan disetiap sepertiga malam...
Dan ternyata semua telah terjawab...
Kini kita bertemu dalam siratan cahaya yang terpancar, bagimu cahayaku begitu indah dan bagiku cahayamu begitu misteri. Cahayaku dan cahayamu mulai berkenalan bahkan mencoba terus beradaptasi dengan perbedaannya. Perbedaan tak menjadi penghalang untuk berinteraksi membuat satu bulatan cahaya yang utuh. Kini cahaya itu menjadi sempurna pancarannya...

Bersamamu aku bahagia...
Sakinah bersamamu...


AJARAN ISLAM TENTANG HALAL - HARAM MAKANAN DAN MINUMAN

Pendahuluan
Agama Islam mengajarkan setiap muslim harus memastikan kehalalan makanan dan minuman yang akan dikonsumsinya, karena hal itu termasuk bagian dari keimanan dalam menjalankan perintah agama. Agama Islam mengajarkan setiap muslim harus selektif dalam mengonsumsi sesuatu, tidak boleh sembarang makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh. Seorang muslim harus memastikan hanya mengonsumsi makanan atau minuman yang baik saja. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لََمُْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik”. (QS. Al-Maidah[5]: 4)
Para ulama menyatakan, arti “at-thayyibat” di ayat tersebut adalah sesuatu yang baik. Di ayat lain Allah berfirman:
يَا أَي هَُّا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالًِِا
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh”. (QS. Al-Mukminun[23]: 51)
Perintah kepada para rasul untuk hanya memakan yang baik sebagaimana dalam ayat tersebut juga merupakan perintah kepada umatnya. Menurut Said bin Jubair dan ad-Dhahhak, sebagaimana diterangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwa yang dimaksudkan dengan “at-thayyibat” dalam ayat tersebut adalah “al-halal”.2 Sehingga ayat tersebut seharusnya dipahami sebagai perintah untuk memakan yang halal.
Di ayat lain Allah berfirman:
يَا أَي هَُّا اللَّاسُ كُلُوا مِدَّا فِِ الَْْرْضِ حَلََلًً طَيِّبًا
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (QS. al-Baqarah[2]: 168)
Ayat ini menggunakan kalimat perintah (shighat amr); “makanlah yang halal lagi baik”. Kaidah ushul fiqh menyatakan: setiap kalimat perintah dalam al-Quran menunjukkan hukum wajib, selagi tidak ada dalil yang menunjukkan lain. Para ulama mengatakan, tidak ada dalil lain terkait ayat di atas yang menunjukkan pemahaman selain wajib. Karena itu, kalimat perintah yang ada dalam ayat tersebut harus diartikan sebagai kewajiban bagi setiap muslim untuk mengonsumsi makanan yang halal lagi baik (halalan thayyiba).
1 . Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat
2 . Abi al-Fida Ismail bin Umar ibn Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqy, Tafsir al-Quran al-Adhim (Tafsir Ibnu Katsir).
2
Kata halal berasal dari bahasa Arab halla yang artinya „lepas‟ atau „tidak terikat‟. Secara istilah kata halal berarti :
"كل شيئ لً يعاقب عليه باستعماله" 3
“segala sesuatu yang tidak dilarang menggunakannya”
"الجائز المأذون به شرعا" 4
“sesuatu yang boleh dan diizinkan secara syar‟i menggunakannya”
Kata haram artinya dilarang untuk melakukannya. Sedang secara istilah kata haram berarti :
"ما ذم فاعله ولو قولً ولو عمل قلب شرعا"
“sesuatu yang tidak boleh dilakukan, baik perkataan ataupun perbuatan”
Dari pengertian tersebut bisa difahami bahwa maksud dari “makanan yang halal” sebagaimana disebutkan ayat tersebut adalah makanan yang tidak ada larangan untuk mengonsumsinya dari al-Quran dan as-Sunnah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
اَلَِْلََلُ مَاأَحَلَّ ااُ فِِْ كِتَابِهِ وَالَِْرَامُ مَ احَرَّمَ ااُ فِِْ كِتَابِهِ وَمَاسَكَتَ عَلْهُ فَ هُ فَ مِدَّا عَفَا عَلْهُ
“Halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitabNya. Haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitabNya. Dan apa yang didiamkanNya adalah sesuatu yang dibolehkan”. (HR. Ibnu Majah, al-Baihaqi, at-Thabrani, at-Tirmidzi, dan al-Hakim)
Sedangkan maksud “baik (thayyib)” sebagaimana disebutkan ayat di atas adalah merupakan ambang batas suatu barang aman dikonsumsi bagi kesehatan. Ibnu Katsir menyatakan, thayyib ialah:
أي: مستطابًا فِ نفسه غير ضار للأبدان ولً للعقول 5
“Baik untuk dirinya, tidak membahayakan badan dan akal”.
Sedangkan menurut ar-Razi yang dimaksud dengan “thayyib” ialah:
والطيب فِ الْصل هو ما يستلذ به ويستطاب 6
“Maksud dari thayyib ialah makanan yang enak dan bergizi”
Dari penjelasan di atas dapat digaris-bawahi bahwa agama Islam bukan hanya mengharuskan pemeluknya mengonsumsi makanan dan minuman yang halal saja, namun juga mengharuskan untuk memerhatikan kelezatan dan terutama ke-thayyibannya.
3 . Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ali al-Husaini al-Jurjani, at-Ta’rifat
4 . Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subuki, al-Ibhaj Syarh al-minhaj, . Lihat pula: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul.
5 . Abi al-Fida Ismail bin Umar ibn Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqy, Tafsir al-Quran al-Adhim (Tafsir Ibnu Katsir).
6 . Fakhruddin Muhammad bin umar bin al-Husain bin al-Hasan at-Tamimi al-Bakri ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib, Tafsir ar-Razi).
3
Dalil Keutamaan Halal
Sebagaimana disebutkan terdahulu, agama Islam memerintahkan kepada setiap umat Islam untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib. Sangat banyak ditemukan dalil dari al-Quran, as-Sunnah dan perkataan para ulama salaf yang menjelaskan tentang hal itu. Di antara dalil tersebut adalah sebagai berikut:
وَكُلُوا مِدَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلََلًً طَيِّبًا وَااَّ قُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْ مْ تُ بِهِ مُؤْمِلُونَ
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. (QS. Al-Maidah[5]: 88)
فَكُلُوا مِدَّا غَلِمْتُمْ حَلََلًً طَيِّبًا وَااَّ قُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang Telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Anfal[8]: 69)
فَكُلُوا مِدَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلََلًً طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُلْتُمْ إِيَّاهُ اَ عْبُدُونَ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja menyembah”. (QS. Al-Nahl[16]: 114)
أَي هَُّا اللَّاسُ إِنَّ اللَّهَ « : عَنْ أَ هُرَيْ رَة رضي اا عله قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
طَيِّبٌ لًَ ي قَْبَلُ إِلًَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِلِ بِدَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِ فَ قَالَ : } يَا أَي هَُّا الرُّسُلُ كُلُوا
مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالًِِا إِنِِّّ بِدَا اَ عْمَلُونَ عَلِيمٌ { وَقَالَ : } يَا أَي هَُّا الَّذِينَ مَلُوا كُلُوا مِ نْ طَيِّبَاتِ
مَا رَزَقْ لَاكُمْ {. ثَُُّ ذكََرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَ رَ يََُدُّ يَدَيْهِ إِلََ السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ
رواه مسلم( ( » وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَ رَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالَِْرَامِ فَأَ يُسْتَ ابُ لِ ذَلِكَ
Dari Abu Hurairah (semoga Allah meridhainya), ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Bersih sempurna, tidak menerima kecuali yang bersih (baik). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada umat Islam hal-hal yang diperintahkan kepada para utusan-Nya. Kemudian Ia membaca ayat {“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”} dan ayat {Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu}. Kemudian Rasul menyebut seorang yang bepergian jauh untuk melaksanakan ibadah, ia berdoa menadahkan tangan ke langit, ya Tuhan, ya Tuhan, dan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan semua itu didapat dari yang haram, maka tidak akan diistijabkan doa tersebut” (HR. Muslim)
4
عن ابن عباس قال: اُليت هذه الآية علد اللبي صل اا عليه وسلم: } يَا أَي هَُّا اللَّاسُ كُلُوا مِدَّا فِِ
الَْرْضِ حَلَلً طَيِّبًا { فقام سعد بن أ وقاص فقال : يا رسول اا ادع اا أن يجعلني
يا سعد أطب مطعمك اكن مست اب الدعوة والذ ي نفس محمد « . مست اب الدعوة فقال
بيده إن الرجل ليَ قْذفُ اللقمة الِرام فِ جَوْفه ما ي تَُقبَّل مله أربع يومًا وأيَّا عبد نبت لِمه من
أخرجه الطبرانِّ( ( . » السُّ حْت والربا فاللار أولَ به
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: dibaca dihadapan nabi ayat {Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi}, kemudian berdiri Sa‟d bin Abi Waqqash. Ia berkata: “ya Rasulullah, mohon doakan kepada Allah agar saya termasuk orang yang dikabulkan doanya”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “wahai Sa‟d, perhatikan kehalalan dan kethayyiban makananmu maka akan mustajab doamu. Demi Dzat yang nyawa Muhammad ada di genggamanNya, sesungguhnya orang yang memasukkan barang yang haram di perutnya ia tidak akan diterima (amalnya) empatpuluh hari. Sesiapa hamba yang dagingnya tumbuh dari yang haram dan riba, maka neraka lebih utama baginya” (HR. at-Thabrani)
من نبت لِمه من « : عن أ بكر الصديق رضي اا عله عن اللبي صل اا عليه وسلم
رواه الِاكم وقال حديث صحيح » السحت فاللار أولَ به
Dari Abu Bakar as-Shiddiq (semoga Allah meridhainya), dari Nabi SAW: “sesiapa dagingnya tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya” (HR. al-Hakim, dan ia berkata hadis ini shahih)
كل لِم نبت من حرام « : عن كعب رضي اا عله قال : قال رسول اا صل اا عليه وسلم
أخرجه الترمذي( ( » فاللار أولَ به
Dari Ka‟b (semoga Allah meridhainya), ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya” (HR. at-Tirmidzi)
من أكل الِلَل أربع يوماً نور « : عن أ أيوب رضي اا عله قال: قال صل اا عليه وسلم
أخرجه ( » زهده اا فِ الدنيا « : وفِ رواية . » اا قلبه وأجرى يلابيع الِكمة من قلبه عل لسانه
أبو نعيم(
Dari Abi Ayyub (semoga Allah meridhainya), ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “barangsiapa memakan yang halal empat puluh hari maka Allah akan menyinari qalbu (hati)nya, dan akan memancar sumber-sumber hikmah dari hati dan lisannya”. Di riwayat lain disebutkan: “maka Allah akan mencukupkan hatinya (zuhud) di dunia” (HR. Abu Na‟im)
5
وقال سهل رضي اا عله : من أكل الِرام عصت ج وارحه شاء أم أبى علم أو لم يعلم . ومن
كانت طعمته حلَلًً أطاعته جوارحه ووفقت للخيرات
Sahl (semoga Allah meridhainya) berkata: “barang siapa memakan yang haram, maka anggota tubuhnya akan berbuat maksiat, ia kehendaki atau tidak, ia tahu atau tidak. Dan barangsiapa yang makanannya halal maka anggota tubuhnya akan membawanya untuk taat dan berbuat sesuai dengan kebaikan”
وقال بعض السلف: إن أول لقمة يأكلها العبد من حلَل يغفر له ما سلف من ذنوبه ومن أقام
نفسه مقام ذل فِ طلب الِلَل اساقطت عله ذنوبه كتساقط ورق ال ر.
Sebagian ulama salaf berkata: “sesungguhnya suapan pertama yang dimakan seorang hamba dari yang halal, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa mendirikan dirinya seperti orang yang hina dalam mencari yang halal, maka akan gugur karenanya semua dosanya seperti bergugurannya daun-daun pohon”
Hukum Asal Sesuatu
Agama Islam yang dibawa oleh nabi Kita Muhammad SAW merupakan bentuk dari belas kasih Allah kepada umat manusia. Hal itu dibuktikan dari ajaran-ajarannya yang sangat selaras dan sesauai dengan fitrah manusia. Di antara buktinya adalah ajaran yang terkait dengan aturan boleh-tidaknya mengonsumsi sesuatu. Apabila dibandingkan antara yang dilarang dan yang dibolehkan untuk dikonsumsi, maka akan terlihat betapa Allah sangat berbelas kasih kepada manusia. Apa-apa yang dibolehkan untuk dikonsumsi jauh sangat lebih banyak daripada apa-apa yang dilarang. Dalam ajaran Islam hanya ada beberapa saja yang dilarang untuk dikonsumsi, sedangkan selainnya boleh semuanya untuk dikonsumsi.
Para ulama merumuskan dua kaidah yang terkait dengan hal ini. Kaidah pertama berbunyi:
الْصل فِ الْشياء الإباحة ما لم يقم دليل عل الِرمة
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh, selagi tidak ada dalil yang mengharamkanya”.
Kaidah tersebut dirumuskan berdasarkan ayat berikut:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِِ الَْْرْضِ جََِيعًا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..” (QS. Al-Baqarah[2]: 29)
Kaidah ini menunjukkan bahwa semua yang ada dimuka bumi ini boleh dimanfaatkan dan dikonsumsi oleh manusia selagi tidak ada dalil lain yang melarangnya. Jadi dalil dalam al-Quran dan as-Sunnah hanya menyebutkan hal-hal yang dilarang saja, sedangkan selainnya hukumnya boleh untuk dikonsumsi dan dimanfaatkan.
Selain kaidah di atas ada kaidah kedua yang erat terkait dengan hokum mengonsumsi sesuatu. Kaidah itu berbunyi:
6
الْصل فِ الْشياء اللافعة الإباحة وفِ الْشياء الضارة الِرمة
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan yang membahayakan adalah haram”.
Kaidah kedua ini dirumuskan berdasarkan ayat berikut:
وَلًَ ا لُْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلََ التَّ هْلُكَةِ
“..dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..” (QS. Al-Baqarah[2]: 195).
وَلًَ اَ قْتُ لُوا أَنْ فُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“..dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa[4]: 29)
Kaidah kedua ini memberikan batasan yang lebih spesifik; bukan hanya adanya dalil yang melarang saja yang menyebabkan diharamkannya sesuatu, tapi juga pertimbangan kesehatan dan keselamatan jiwa. Walaupun tidak ada dalil yang melarang mengonsumsinya tapi bila akan mengganggu keselamatan jiwa, maka sesuatu tersebut juga hukumnya haram untuk dikonsumsi.
Dengan dua kaidah di atas dapat disimpulkan bahwa dalam ajaran Islam segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk dikonsumsi selagi tidak ada dalil yang mengharamkannya dan tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan jiwa.
Oleh karena itu penting untuk mengetahui dalil-dalil yang menunjukkan diharamkannya sesuatu.
Penyebab Keharaman
Ada beberapa ayat dan hadis yang menunjukkan diharamkannya sesuatu. Para ulama telah mensistematiskannya dalam kelompok-kelompok tertentu sehingga memudahkan umat Islam pada umumnya mengetahui dan menjadikannya pedoman. Setidaknya ada lima sebab diharamkannya sesuatu untuk dimanfaatkan dan dikonsumsi, yaitu:
1. Najis (an-najasah).
Najis menurut bahasa adalah “setiap yang kotor”. Sedangkan menurut syara‟ adalah kotoran yang wajib dihindari dan dibersihkan oleh setiap muslim ketika terkena olehnya7. Setiap yang najis hukumnya haram untuk dikonsumsi. Misalnya daging babi, anjing, bangkai, darah, hewan ternak yang tidak disembelih secara syar‟I, dan makanan yang terkena najis. Sesuai firman Allah SWT:
قُلْ لًَ أَجِدُ فِِ مَا أُوحِيَ إِ مُحَرَّمًا عَلَ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلًَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُووً ا أَوْ
مَ خِلْزِيرٍ فَ نَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
7 . Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayatu al-akhyar Fi Hilli Ghayah al-Ikhtishar
7
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS. Al-An‟am[6]: 145)
Al-Imam al-Mawardi mengatakan kata “rijsun” dalam ayat di atas artinya adalah “najis”.8 Dalam kaitan ini imam ar-Razi menyatakan sbb:9
فهذا يقتضي أن الل اسة علة لتحريم الْكل فوجب أن يكون كل مذس يحرم أكله
“keterangan ini menyebutkan bahwa sesungguhnya najis menjadi sebab diharamkannya sesuatu untuk dikonsumsi, maka kesimpulannya bahwa setiap yang najis hukumnya haram untuk dimakan”
Dari keterangan tersebut dapat difahami bahwa yang menyebabkan diharamkannya bangkai, darah yang mengalir, daging babi, binatang yang disembelih atas nama selain Allah, sebagaimana disebutkan ayat di atas adalah karena najis. Kesimpulan itu juga dikuatkan oleh ayat berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَِْمُ ااِْلْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُلْخَلِقَةُ وَالمْ وْقُوذَةُ وَالْمُتَ رَدِّيَةُ
وَاللَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلًَّ مَا ذكََّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَ اللُّصُبِ وَأَنْ اَسْتَ قْسِمُوا بِالَْْزْلًَمِ ذَلِكُمْ
فِسْقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan”. (QS. Al-Maidah[5]: 3)
إِ ا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الميتة والدم وَلَِْمَ االزير وَ مَ أُهِلَّ لِغَيْرِ اا بِهِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah”. (QS. An-Nahl[16]: 115)
Selain itu ada pula sesuatu yang diharamkan karena tersentuh najis. Dalam ilmu fikih, sesuatu yang terkena najis disebut sebagai mutanajjis. Sesuatu yang mutanajjis juga haram hukumnya untuk dikonsumsi. Sesuatu yang terkena najis bisa menjadi suci kembali setelah dicuci secara syar‟i (tathhir syar‟an).
Najis terbagi menjadi tiga bagian: (1) Najis mughalladhah (najis berat), yaitu najisnya babi, anjing, dan turunan keduanya atau salah satunya. (2) Najis mukhaffafah (najis ringan), yaitu najisnya urine bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun dan tidak mengonsumsi apapun selain air susu ibu, (3) najis mutawassithah (najis sedang), yaitu najis selian keduanya.
8 . Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, an-Nakt wa al-‘Uyun (tafsir al-Mawardi)
9 . Fakhruddin Muhammad bin umar bin al-Husain bin al-Hasan at-Tamimi al-Bakri ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib, Tafsir ar-Razi).
8
Selain itu, dilihat dari karakternya, najis ada yang najis „aini (najis dzatnya); yaitu najis yg nampak bentuk, bau dan rasanya. Dan ada pula najis hukmi (najis hukumnya): najis yang tidak ada bentuk, bau dan rasanya.
Point penting terkait dengan benda yang terkena najis (mutanajjis) agar bisa dikonsumsi adalah dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan cara yang sesuai dengan ajaran Islam.
Cara Menyuci Benda Terkena Najis
Secara ringkas dapat dibedakan cara menyuci benda yang terkena najis menjadi dua; yaitu cara menyuci benda padat dan cara menyuci benda cair.
Cara menyuci benda padat yang terkena najis ada dua cara sebagai berikut:
1. Dikucur.
Cara mencuci dengan dikucur adalah dengan cara mengucurkan air ke benda yang terkena najis, sehingga hilang sifat najisnya, yang diukur dari rasa, bau dan warnanya.
Dalilnya adalah hadis berikut:
أَنَّ اللَّبِيَّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ - فِِ دَمِ « وَعَنْ أَسَْْاءَ بِلْتِ أَ بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَلْ هُمَا
مُتَّ فَقٌ عَلَيْهِ . » الَِْيْضِ يُصِيبُ الثَّ وْبَ بَرُتُّهُ ثَُُّ اَ قْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثَُُّ اَ لْضَحُهُ ثَُُّ اُصَلِّي فِيهِ
“Dari Asma binti Abu Bakar RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda tentang darah haidh yang terkena pakaian: hilangkanlah (bekas darah tersebut), kemudian guyurlah dengan air, lalu shalatlah dengan pakaian tersebut” HR. Bukhari-Muslim.
Dalam hal ini tata caranya dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab ”al-Minhaju al-Qawim” sbb10:
)وإن لم يكن للل اسة ع ( كبول جف ولم يدرك له طعم ولً لون ولً ريح )كف جري
الماء عليها( مرة من غير اشتراط نية هلا وفيما مر لْنها من باب التروك .
“jika najisnya tidak terdeteksi seperti air seni yang kering yang tidak terdeteksi rasa, warna, dan baunya maka cukup dengan mengucurkan air atasnya sekali saja tanpa harus berniat”
Dijelaskan oleh Ibnu al-Khathib as-Syarbini dalam kitab ”Mughni al-Muhtaj Ila Ma‟rifati Alfadhi al-Minhaj” sbb:
)وَيُ تَ رَطُ وُرُودُ الْمَاءِ ( عَلَ الْمَحَلِّ إنْ كَانَ قَلِيلًَ فِِ الَْْصَحِّ لِئَلََّ ي تََ لَ سَ الْمَاءُ لَوْ عُكِسَ
لَمَا عُلِمَ مِدَّا سَلَفَ أَنَّهُ ي لَْ سُ بِدُ رَّدِ وُقُوعِ اللَّ اسَةِ فِيهِ .
“dan disyaratkan (dalam mencuci barang terkena najis) mengucurkan air ke tempat yang terkena najis, jika air tersebut sedikit (kurang dari dua kulah), agar
10 . Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin ali Ibnu Hajar al-Haitami, al-Manhaj al-Qawim Bisyarhi Masail at-Ta’lim
9
air tersebut tidak malah menjadi mutanajjis. Jika sebaliknya (tidak dikucur tapi direndam/dicuci dalam air sedikit) maka menjadi najis karena terkena najis di dalamnya”
2. Direndam.
Menyuci dengan cara merendam adalah dengan merendam barang yang terkena najis dengan air banyak, sehingga hilang sifat najisnya, yang diukur dari rasa, bau dan warnanya.
Air yang banyak adalah disetarakan dengan dua kulah, atau sekitar 270 liter. Dalilnya adalah hadis berikut:
إذَا « : وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَلْ هُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخْرَجَهُ أبو داوود الترمذي » لمَْ ي لَْ سْ « وَفِِ لَفْظٍ » كَانَ الْمَاءُ قُ لَّتَ لمَْ يَحْمِلْ ااَْبَثَ
اللسائي ابن ماجه وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيََْةَ وَالَِْاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abdullah bin Umar (semoga Allah meridhai keduanya), ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “jika air berjumlah dua kulah, maka tidak mengandung najis” di hadis lain disebutkan: “maka tidak ada sesuatu yang menajiskannya”. (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah. Hadis ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban)
Terkait dengan ukuran menghilangkan najis dengan hilangnya rasa, bau dan warnanya adalah sebagaimana hadis berikut:
لً يل س الماء إلً ما غير ريحه أو « : عن أ أمامة عن اللبي صل اا عليه وسلم قال
وقال خرون مدن وافق هؤلًء فِ أن خبر ابن عباس الذي ذكرناه قبل خبر مجمل » طعمه
له مفسر من الْخبار : قد يل س الماء وإن لم يتغير له لون ولً طعم ولً ريح
بدخالطة الل اسة إياه إلً أن يكون الماء الذي بزالطه الل اسة فلَ يغلب عليه لونها
ولً طعمها ولً ريحها كمياه المصانع والبرك التي ب مكة والمديلة ف ن الل اسة إذ ا
خالطت مثل ذلك الماء فلم اغير له لونا ولً طعما ولً ريحا لم ال سه
“Dari Abi Umamah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “ tidak ada yang membuat najis air, kecuali yang merubah bau dan rasanya”. Ulama lain berpendapat bahwa hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas (yang mengatakan: sesungguhnya air tidak ada yang menajiskannya, pent) merupakan hadis yang global (mujmal) yang perlu penafsiran dari hadis lain. Artinya, bisa saja air (sedikit) menjadi najis jika tercemplung di dalamnya sesuatu yang najis, walaupun tidak berubah warna, rasa, dan baunya. Kecuali (tidak menjadi najis) jika air yang tercemplung barang najis tersebut (banyak), dan tidak kalah warnanya, rasanya, dan baunya, seperti air pabrik dan sumur yang ada di daerah antara makkah dan Madinah. Alasannya karena barang najis jika tercampur dengan air seperti itu dan tidak berubah warna, rasa, dan bau maka barang najis itu tidak membuat air tersebut menjadi najis”.
10
Tapi apabila telah dicuci tapi masih ada salah satu di antara tiga tersebut, maka hal itu termasuk yang dimaafkan, sesuai hadis berikut:
قَالَتْ خَوْلَة : يَا رَسُولَ اللَّه فَ نْ لمَْ يَذْهَبْ الدَّمُ ؟ « : وَعَنْ أَ هُرَيْ رَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَلْهُ قَالَ
أَخْرَجَهُ التِّ رْمِذِيُّ . » يَكْفِيك الْمَاءُ وَلًَ يَضُرُّك أَ رَُه « : قَالَ
Dari Abu Hurairah RA. Khaulah RA bertanya: wahai Rasululah, jika (bekas) darahnya tidak hilang? Ia SAW menjawab: “kamu cukup mencucinya dengan air, dan tidak masalah dengan bekasnya” (HR. At-Tirmidzi)
Al-Imam Zakaria al-Anshari dalam kitab ”Tuhfatu at-Thullab” menjelaskan maksud hadis tersebut sbb11:
)وإزالتها( أي الل اسة )ولو من خف( واجبة )بغسل( فِ غير بعض ما يأتي كبول صبي
)بحيث ازول صفاتها ( من طعم ولون وريح )إلً ما عسر ( زواله )من لون أو ريح ( فلَ
بذب إزالته بل يطهر محله بخلَف ما لو اجتمعا لقوة دلًلتهما عل بقاء ع الل اسة .
وما لو بقي الطعم لذلك ولسهولة إزالته غالبا .
“Wajib hukumnya menghilangkan najis walaupun terhadap sepatu selop (khuff) dengan mencucinya hingga hilang rasa, warna dan baunya, kecuali jika salah satu warna atau baunya sulit dihilangkan, maka tidak wajib untuk menghilangkannya. Ia tetap dianggap suci. Berbeda jika warna dan baunya sama-sama tetap tidak hilang (maka tetap dianggap terkena najis) karena tidak hilangnya keduanya secara bersamaan mengindikasikan masih adanya najis. Begitu juga (masih dianggap najis) jika yang tidak bisa hilang adalah rasanya, karena umumnya menghilangkan rasa sangatlah mudah”.
Sedangkan cara menyuci benda cair yang terkena najis adalah sebagai berikut:
a) Cara pengurasan (thariqat an-nazh). Air yang terkena najis atau yang berubah salah satu sifatnya dikuras, sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya.
b) Cara penambahan (thariqah al-mukatsarah). Menambahkan air suci pada air yang terkena najis atau yang berubah hingga airnya mencapai volume paling kurang dua kullah (270 liter), serta unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang.
c) Cara pengubahan (thariqah taghyir): Air yang berjumlah lebih dari 270 liter yang terkena najis atau yang telah berubah salah satu sifatnya diubah dengan menggunakan alat bantu yang suci, sehingga menjadi air yang bersih dan suci, dengan ditandai kembalinya sifat-sifat air yang suci, berupa warna, rasa, dan bau.
2. Kotor dan menjijikkan (istiqdzar).
11 . Zakaria al-Anshary, Tuhfatu at-Thullab Bisyarhi Tahrir Tanqih al-Lubab.
11
Ulama berbeda pendapat tentang larangan memakan sesuatu dengan alasan kotor dan menjijikkan. Perbedaan pandangan tersebut berakar dari perbedaan mereka menafsiri ayat berikut:
وَيُحِلُّ لََمُُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ ااَْبَائِثَ
“dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (QS. Al-A‟raf: 157)
Setidaknya ada tiga pendapat ulama dalam menafsiri ayat tersebut:
Pertama, mengatakan bahwa arti “at-thayyibat” dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang dihalalkan, sedang arti “al-khobaits” adalah sesuatu yang diharamkan. Pendapat ini adalah pendapat imam Malik.12
Kedua, mengatakan bahwa arti “at-thayyibat” dalam ayat tersebut adalah apa yang dianggap baik oleh orang Arab, sedang arti “al-khobaits” adalah apa yang dianggap kotor dan menjijikkan oleh orang Arab. Yang dimaksud orang Arab di sini adalah orang arab ketika zaman nabi. Alasan kenapa persepsi orang arab zaman nabi menjadi patokan dalam menentukan hokum, karena al-Quran diturunkan di zaman mereka hidup sehingga dianggap lebih mengetahui maksud dari apa yang ada di dalam al-Quran. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Hanafi13, mazhab Syafi‟I14, dan mazhab Hanbali15.
Ketiga, mengatakan bahwa arti “at-thayyibat” dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang dihalalkan dan bermanfaat bagi pengonsumsinya dalam agamanya, sedang arti “al-khobaits” adalah sesuatu yang berdampak buruk bagi agamanya. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah.
Masyarakat di Indonesia lebih banyak mengamalkan pendapat kedua, yakni sesuatu yang kotor dan menjijikkan hukumnya haram untuk dikonsumsi, berdasarkan dalil ayat di atas. Contohnya, air liur dan ludah, keringat, air mani, belatung, kecoa. Sungguhpun semua itu suci tapi hukumnya haram dikonsumsi, karena menjijikkan.
3. Berbahaya bagi Keselamatan Jiwa (dharar).
Agama Islam sangat memerhatikan keselamat jiwa manusia, karena itu Islam mewajibkan untuk menjaganya. Apapun makanan atau minuman yang bisa membahayakan keselamat jiwa maka hukumnya haram. Misalnya tumbuhan ataupun hewan beracun. Allah berfirman:
وَلًَ اَ قْتُ لُوا أَنْ فُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“…dan janganlah kamu membunuh Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa[4]: 29)
وَلًَ ا لُْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلََ التَّ هْلُكَةِ
“.. dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..” (QS. Al-Baqarah[2]: 195)
12 . Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurtuby, al-Jami’ Li Ahkami al-Quran (tafsir al-Qurtuby).
13 . Ibnu abidin, Rad al-Muhtar ‘Ala ad-Dur al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar (hasyiah Ibnu Abidin)
14 . Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-majmu’ Syarh al-muhadzab
15 . Ibnu Qudamah, al-Mughni. Lihat pula: Ibnu Qudamah, as-Syarh al-kabir
12
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنْ بَرَسَّ سُِّْا فَ قَتَلَ « : عَنْ أَ هُرَيْ رَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَلْهُ عَنْ اللَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
رواه البخاري( ( » ن فَْسَهُ فَسُمُّهُ فِِ يَدِهِ ي تََحَسَّاهُ فِِ نَارِ جَهَلَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
“Dari Abu Hurairah (semoga Allah meridhainya), Nabi SAW bersabda: barangsiapa menenggak racun kemudian meninggal makan dengan racun tersebut ditangannya ia akan masuk neraka selamanya” (HR. Bukhari)
4. Memabukkan (al-iskar).
Islam melarang mengonsumsi sesuatu yang memabukkan, karena hal itu bisa menutup akal pikiran sehingga besar kemungkinan terjerumus melakukan tindakan kejahatan. Sahabat Usman bin „Affan mengatakan: (ijtanibu al-khamra fainnahu ummu al-khabaits, jauhilah khamr karena ia adalah biang kejahatan), karena itu Islam mengharamkannya. Contohnya adalah minuman beralkohol (khamr), narkoba dan sejenisnya.
يَا أَي هَُّا الَّذِينَ مَلُوا إِ ا ااَْمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالَْْنْصَابُ وَالَْْزْلًَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ ال يْطَانِ فَاجْتَلِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ ا فُْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah[5]: 90)
كُلُّ مُسْكِرٍ خََْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ « : عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَ الَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رواه البخاري ومسلم( ( » حَرَامٌ
“dari Ibnu Umar (semoga Allah meridhai keduanya), ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: setiap yang memabukkan (hukumnya) sama dengan khamr, dan setiap yang memabukkan hukumnya haram” (HR. Bukhari-Muslim}
5. Binatang buas.
Yaitu binatang yang bertaring dan berkuku tajam untuk memakan mangsanya. Sesuai hadis Rasulillah SAW:
ن هََ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ « : عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
رواه مسلم( ( » كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
"Dari Ibnu Abbas (semoga Allah meridhainya), ia berkata: Rasulullah SAW melarang setiap hewan buas yang bertaring dan unggas bercakar tajam". (HR. Muslim)
13
6. Adanya dalil yang melarangnya ('adam al-idzn syar'an).
Misalnya makanan yag diperolah dari harta yang diperoleh dengan cara haram, seperti korupsi, mencuri, merampok, atau hasil dari riba. Misal lain adalah memakan hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya atau hewan yang dilarang untuk dibunuh. Rasulullah SAW bersabda:
خََْسٌ فَ وَاسِقُ ي قُْتَ لْنَ « : عَنْ عَائِ ةَ رَضِيَ اللَّهُ عَلْ هَا عَنْ اللَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
رواه مسلم( ( » فِِ الِِْلِّ وَالَِْرَمِ الَِْيَّةُ وَالْغُرَابُ الَْْبْ قَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالُِْدَيَّا
Dari Aisyah (semoga Allah meridhainya), Rasulullah SAW Bersabda: “lima hewan fasiq yang dapat dibunuh di luar atau di dalam tanah haram, yaitu; ular, gagak, tikus, anjing yang galak dan rajawali”. (HR. Muslim)
ن هََ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَ تْلِ أَرْبَعٍ مِنْ الدَّوَابِّ اللَّمْلَةِ « : عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
رواه أحمد وأبو داوود وابن ماجه( ( » وَاللَّحْلِ وَالَْدُْهُدِ وَالصُّرَدِ
“Dari Ibnu Abbas (semoga Allah meridhainya), ia berkata: “Rasulullah SAW melarang membunuh empat macam binatang: semut, lebah, burung hud-hud, dan burung suradi.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
ن هََ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَ تْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَاللَّمْلَةِ « : عَنْ أَ هُرَيْ رَةَ قَالَ
رواه ابن ماجه( ( » وَ الَْدُْهُدِ
“Dari Abu Hurairah (semoga Allah meridhainya), ia berkata: “Rasulullah SAW melarang membunuh burung suradi, kodok, semut, dan burung hud-hud” (HR. Ibnu Majah)
نه رسول اا صل اا عليه وسلم عن قتل أربعة : الَدهد والصرد « : عن ابن عباس قال
رواه ابن حبان( ( » واللملة واللحلة
“Dari Ibnu Abbas (semoga Allah meridhainya), ia berkata: “Rasulullah SAW melarang membunuh empat macam binatang: burung hud-hud, burung suradi, semut dan lebah” (HR. Ibnu Hibban).
Wallahu a‟lam bi as-shawab
Oleh: Sholahudin al-Aiyub ~ Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat

PENTINGNYA KESADARAN KONSUMEN AKAN BAHAYA PEWARNA MAKANAN SINTESIS

Keamanan penggunaan zat pewarna sintetis pada makanan masih dipertanyakan di kalangan konsumen. Banyak konsumen yang tidak mengetahui tentang pewarna makanan Sintesis seperti bagaimana cara membedakan nya dan dampak bagi kesehatan.
Secara umum zat pewarna pada makanan digolongkan menjadi dua kategori yaitu zat pewarna alami dan zat pewarna sintetis. Zat pewarna alami merupakan zat pewarna yang berasal dari tanaman atau buah-buahan. Zat pewarna sintesis merupakan zat pewarna yang berasal dari bahan sintesis atau bahan – bahan kimia yang biasa disebut dengan pewarna tekstil.
 Secara kuantitas pemakaian zat pewarna alami harus lebih banyak penggunaan nya untuk menghasilkan tingkat warna yang baik jika untuk dilihat secara penampakan nya, Zat pewarna alami menghasilkan warna yang lebih pudar dan terkadang kurang stabil dibandingkan dengan zat pewarna sintesis karena zat pewarna sintesis apabila hanya menggunakan sedikit saja warna yang dihasilkan sudah sabgat bagus dan menarik perhatian namun tetap saja pewarna sintesis tidak baik dan tidak aman bagi kesehatan konsumen.
Zat warna menurut Witt (1876:70) merupakan gabungan zat organik tidak jenuh, kromofor dan auksokrom. Zat organik tidak jenuh adalah molekul zat warna yang berbentuk senyawa aromatik yang terdiri dari hidrokarbon aromatik, fenol dan senyawa yang mengandung nitrogen. Kromofor adalah pembawa warna sedangkan auksokrom adalah pengikat antara warna dengan serat.
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna berbahaya. Rhodamine B termasuk salah satu zat pewarna yang dinyatakan sebagai zat pewarna berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan. Namun tetap saja penyalahgunaan zat pewarna makanan sintesis seperti rhodamine B dan metanil yellow selalu dan masih digunakan di kalangan masyarakat khususnya para pedagang atau penjual makanan dan minuman.
Pedagang atau penjual makanan atau minuman tersebut masih tetap mempertahankan untuk menggunakan zat pewarna sintesis tersebut karena faktor keuntungan, karena harga zat pewarna sintesis yang lebih murah dibandingkan dengan zat pewarna alami sehingga akan mendapatkan keuntungan yang lebih meskipun makanan dan minuman itu nantinya akan mengakibatkan efek yang tidak baik bagi kesehatan.
Rhodamin B adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil dan kertas. Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya pada makanan melalui Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85. Rhodamin B ini juga adalah bahan kimia yang digunakan sebagai bahan pewarna dasar dalam tekstil dan kertas. Pada awalnya zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya dapat berfluorensi dalam sinar matahari.
Metanil yellow merupakan bahan pewarna sintetik berbentuk serbuk, berwarna kuning kecoklatan, bersifat larut dalam air dan alkohol, agak larut dalam benzen dan eter, serta sedikit larut dalam aseton. Pewarna ini umumnya digunakan sebagai pewarna pada tekstil, kertas, tinta, plastik, kulit, dan cat, serta sebagai indikator asam-basa di laboratorium.
KUNING METANIL "DILARANG D1GUNAKAN DALAM OHAT, KOSMETIK, MAKANAN DAN MINUMAN".(Permenkes No. 239/Menkes/Per/V/85 tentang Zat . Tertentu yang dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya).
Untuk pewarna makanan yang menggunakan warna kuning disarankan memakai pewarna alam atau pewarna sintetik yang aman sesuai dengan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan

Penggunaan Rhodamine B dalam produk pangan dilarang karena bersifat karsinogenik kuat, dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati hingga kanker hati (Syah et al. 2005). Paparan kuning metanil dalam waktu lama (kronis), dapat menyebabkan kanker pada saluran kemih dan kandungan kemih.

KUALITAS JAJANAN DI SEKOLAH

Jajan merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh anak – anak di sekolah. Dalam aspek kesehatan jajanan mempunyai aspek positif dan bisa juga bermakna aspek negative. Mayoritas anak mempunyai keinginan untuk jajan karena dalam rentang waktu antara makan pagi dan makan siang relative panjang sehingga anak – anak memerlukan asupan gizi tambahan diantara kedua waktu makan tersebut. ( Khomsan, Ali. 2006 . Solusi Makan Sehat )
Makanan jajanan sering kali lebih banyak mengandung unsure karbohidrat dan hanya sedikit mengandung protein, vitamin, dan mineral. Anak – anak yang banyak mengonsumsi makanan jajanan perutnya akan merasa kenyang karena padatnya kalori yang masuk ke dalam tubuhnya. Sementara zat gizi seperti protein, vitamin dan mineral masih sangat kurang. ( Khomsan, Ali. 2006 . Solusi Makan Sehat )
Seharusnya, peranan orang tua khususnya ibu memerhatikan jajanan anak di sekolah karena beberapa pedagang melakukan tindakan menyimpang dari keamanan dan kualitas jajanan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan menyampingkan aspek nilai kesehatan dan gizi yang dikonsumsi oleh anak – anak di sekolah.
Banyak sekali penyimpangan yang dilakukan oleh pedagang seperti memberikan Bahan Tambahan Makanan di jajanan. Bahan Tambahan Makanan seringkali sengaja ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki tekstur, rasa, penampakan, dan memperpanjang daya simpan makanan. Penggunaan Bahan Tambahan Makanan secara sembarangan dapat memunculkan gangguan kesehatan.
Bahan Tambahan Makanan yang dapat memunculkan masalah kesehatan adalah Bahan Tambahan Makanan yang mengandung bahan – bahan kimia atau biasa disebut sintesis. Bahan – bahan kimia atau sintesis tersebut diantaranya seperti pewarna tekstil, boraks dan formalin. Para pedagang biasanya menggunakan bahan  - bahan kimia tersebut dengan alasan harganya yang murah dan mendapatkan keuntungan yang banyak ketika jajanan nya nanti akan dijual kepada konsumen.
Pewarna tekstil seperti metanil yellow dan rhodamin B sering sekali digunakan para pedagang nakal untuk mewarnai sirup, kerupuk, permen dan lain sebagainya. Penggunaan boraks biasanya untuk membuat bakso, gorengan, kerupuk dan lain sebagainya. Penggunaan formalin biasanya untuk tahu, mie dan lain sebagainya.
Pewarna tekstil mengandung senyawa – senyawa yang bersifat karsinogenik ( menyebabkan kanker ). Pedagang yang nakal sangat pintar sekali ketika mengolah makanan dan minuman yang nanti akan dijajakan di setiap sekolah – sekolah. Mengapa pintar ? karena pedagang tersebut sudah mengolah dan membungkus dengan cantik sedemikian rupa agar tidak dicuragai bahwa jajanan yang mereka jajakan nanti mengandung bahan – bahan kimia.
Inilah mungkin alasan para pedagang menjajakan jajanan nya di sekolah – sekolah karena anak – anak adalah sasaran yang paling mudah bagi pedagang makanan dan minuman untuk memasarkan produknya karena anak – anak tidak mungkin ketika membeli jajanan tersebut bertanya kritis dan aktif tentang kualitas jajanan tersebut sehingga secara tidak langsung anak – anak tersebut setiap hari nya terpapar bahan kimia yang berbahaya.
Peranan orang tua sangatlah penting dalam masalah ini. Mulai dari sekarang berilah pengetahuan terkait kualitas jajanan di sekolah kepada anak – anak agar mereka mulai belajar dan sadar pentingnya akan kesehatan. Ada beberapa tips yang saya berikan untuk membedakan mana yang mengandung Bahan Tambahan Makanan sintesis dan alami. Bahan Tambahan Makanan sintesis biasanya mempunyai penampakan warna yang cerah dan segar, tekstur makanan yang padat dan bau nya khas dan jika yang alami biasanya penampakan warna nya yang agak pucat, tekstur makanan nya yang lembut dan tak ada bau yang khas.
Mari, tingatkan rasa kepedulian kita terutama peran orang tau untuk lebih memperhatikan jajanan yang di jajakan di sekitar sekolah atau lingkungan rumah, dengan cara memberikan bekal untuk anak ke sekolah, orang tua bisa mengikuti seminar atau talkshow terkait keamanan pangan atau kesehatan anak, dan memberikan edukasi dini kepada anak terkait jajanan sehat.